Senin, 28 Oktober 2013

Rencana Proyek Giant Sea Wall Semarang Perparah Kerusakan Lingkungan


Semarang - Beragam cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah banjir akibat air laut pasang (rob) di Kota Semarang. Hal itu terlihat dari menambah pompa, membuat tanggul hingga mengaktifkan gerakan menanam mangrove.

Akan tetapi, upaya itu belum mampu mengatasi. Gubernur Ja­wa Tengah Ganjar Pranowo pun be­rencana membangun tanggul pe­na­han air laut raksasa atau yang di­ke­nal dengan giant sea wall di se­pan­jang pantai utara Semarang de­ngan nilai proyek sekitar Rp 5 triliun.

Ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin PhD, mengatakan, pembangunan giant sea wall, menelan biaya mahal.

Dampak ke depan, justru malah akan memperparah banjir di Kota Semarang, merusak lingkungan laut, mempercepat pendangkalan sungai, mengancam sektor per­ikanan lokal, dan me­nyebabkan permasalahan sosial.

Debit Sungai
”Giant Sea Wall akan menyebabkan kecepatan air sungai berkurang akibat jauhnya muka air (titik terendah untuk mengalirkan air). Seperti yang kita ketahui, debit sungai adalah perkalian antara kecepatan air dan luas penampang sungai, sehingga jika kecepatan air menurun maka mau tak mau luas penampang sungai harus diperbesar,” katanya.

Menurut Muslim, masalah itu hampir tidak mungkin diselesaikan dengan menambah lebar su­ngai. Satunya-satunya cara yang dapat dilakukan, adalah mela­kukan pengerukan sungai untuk mengurangi laju sedimentasi. Jika pengerukan sungai tidak rutin, maka yang akan terjadi adalah banjir.

Koordinator national Civil Society Forum for Climate Justice In­donesia atau Forum Ma­sya­rakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI), Mida Saragih menje­las­kan, dari hasil kajiannya ber­sama pakar lingkungan kelautan ITB, Koalisi Rakyat untuk Ke­adilan Per­ikanan (Kiara) dan akti­vis lingkungan lainnya, giant sea wall memiliki fungsi yang kontraproduktif dengan kebutuhan lingkungan.

”Selain menyebabkan kecepatan air sungai berkurang akibat jauhnya muka air, kondisi ke depannya akan semakin berbahaya. Selain itu, pendapatan nelayan akan turun karena harus keluar jauh dari tembok itu dan tentu sampah akan menumpuk di sungai,” jelasnya, kemarin.

Kegiatan penanaman mangrove secara swadaya yang dilakukan oleh warga Mangkang Wetan, Tambaklorok hingga Sayung (De­mak), menurut Mida, seharusnya yang harus diperhatikan. Jadi, tidak hanya dengan program penanaman yang gencar dilakukan oleh lembaga maupun pemerintah tetapi juga dalam perawatannya yang lebih diutamakan.

Giant sea wall, kata Mida lagi, justru tidak strategis. Dari data perubahan iklim internasional yang berlaku ratusan tahun ke depan, laut di kawasan Indonesia sangat mengkhawatirkan.

Kepentingan Industri
”Giant sea wall itu hanya melindungi bagian yang sedikit dari luasan kawasan pantai utara. Masalah sosial akan semakin tinggi. Kami dan para akademisi sepakat, bahwa giant sea wall hanya sebatas proyek semata, bukan kerja jangka panjang, karena hanya untuk kepentingan industri, bukan kepentingan masyarakat dan lingkungan,” paparnya.

Koordinator Divisi Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Selamet Daroyni menambahkan, proyek yang rencananya akan dibangun di Jakarta mau­pun di pantai utara Semarang itu berpotensi mengakibatkan terjadinya penggusuran, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta dinilai dapat menghilangkan akses melaut nelayan.

”Reklamasi berimplikasi negatif karena dapat mengubah bentang alam dan aliran air dan menurunkan daya dukung lingkungan hidup yang ditandai dengan penurunan permukaan tanah dan kenaikan rob,” katanya.Dari dampak itu, lanjutnya, juga akan diikuti dengan ancaman perubahan iklim. Terlebih, bahan uruk material yang digunakan juga mengakibatkan kerusakan ekosistem setempat dan wilayah lain.

#Sumber : Suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar